Saturday, September 27, 2014

Curug Beret, jelajah air terjun di musim kemarau bagian ke dua


Curug Beret 
27 September 2014, hayu jalan....setelah perjalanan kami ke Curug Cibogo di minggu sebelumnya, dari sembilan orang yang ikut saat rapat penentuan jelajah hari Sabtu di ruang Arsip Rumah Sakit Paru Dr. M. Goenawan P Cisarua Bogor, ternyata tidak disangka-sangka bertambah lagi empat orang yang akan ikut, kaum hawa lagi....he...he...nambah semangat.

PERINGATAN : DILARANG KERAS MEMASUKI WILAYAH CURUG BERET 
PERGUNAKAN WARGA SEKITAR UNTUK MENJADI PEMANDU DAN MEMINTA IZIN KE APARAT SETEMPAT UNTUK MEMASUKINYA


Curug Beret di musim kemarau

Setelah tempat berkumpul pertama ditentukan, tepat pukul  tujuh pagi, sedikit ngaret....personil yang terdiri dari Pak Teo, Pak Uus, Pak Deny, Kang Riki, Pak Endang, Neng Nisa, Neng Intan, Teh Lia, Bu Siska, Mas Jiwata, Suaminya Mba Siti (aduh....lupa namanya) dan Trias, bertolak menuju tempat berkumpul kedua di rumah Kang Elan di desa Citeko, dengan jumlah rombongan 13 orang. 
Pintu Masuk Curug Beret


Dari desa Citeko kami menyusuri jalan alternatif melewati desa Pakancilan, yang digunakan bila lalu lintas jalur puncak macet, jalan ini bisa dialui hingga keluar menuju desa Gadog, dari jalan ini, ada sebuah lapangan, belok ke sebelah kiri jalan, kami menginjakan kaki di jalan perkebunan teh PTPN 8 Cikopo Selatan, terus menyusuri jalan batu perkebunan dengan model menanjak melewati perbukitan yang dikelilingi tanaman teh dan hutan pinus, Cuaca pagi sudah mulai cukup panas dan jalan sedikit berdebu, maklum sedang musim kemarau panjang, dengan terus memberi semangat kepada para kaum hawa yang ikut dan mulai kehabisan tenaga, dan mungkin mereka tidak menyangka akan disuguhi perjalanan yang cukup berat, mudah-mudahan jangan kapok yach........

Desa Pakancilan
Istirahat di perkebunan teh PTPBN 8 Cikopo Selatan



hamdalah....di pertengahan jalan kami nebeng sebuah mobil bak terbuka yang akan membawa sayur dari perkebunan Mang Riki di Cicapit, lumayan menghemat waktu dan tenaga, meskipun akhirnya jarak sedikit lagi menuju jalan utama Cicapit, sang mobil mogok......

Ayo semangat ladies.......dah ha...heh....hoh....ritme nafas, rombongan sampai juga di gerbang menuju Curug, jeprat sana-sini, untuk kenang-kenangan, yup.....ayo perjalanan masih panjang, kami mulai menyusuri jalan setapak di pinggir lembah, menyebrangi sungai di tengah hutan lindung dengan sedikit paranoid mudah-mudahan jangan ketemu dengan hewan yang bernama Lintah.

Curug sudah terlihat, tapi karena kebetulan saat ini adalah musim kemarau, he...he....debit air curug tidak begitu besar, tapi sudah kelihatan dari jauh. Dengan menghafal jalan pada saat kunjungan pertama menggunakan sepeda, sambil terus memperhatikan, yang penting jangan sampai tersesat di tengah hutan, apalagi membawa perempuan di dalam rombongan......waduh, akhirnya sampai juga di pinggir Curug, Hamdalah.
Memandang Curug Beret
Santap siang di Curug Beret
Sedikit berpose, sambil diminta kumpul untuk mengikuti acara makan siang, dengan suguhan nasi timbel lengkap dengan bala tentaranya, yang terdiri dari balado jengkol, tempe bacem goreng, bihun goreng, Ati goreng, lalapan dan sambal. Nikmat....tapi pada saat makan, sebagian rombongan mulai bergerak resah, ternyata kita kedatangan tamu tak diundang.....Lintah. 

Istirahat di bedeng seng PTPN 8
Cukup mendung.....karena lokasi curug berada di dasar lembah, dikhawatirkan takut turun hujan, saatnya pulang, dengan kondisi terbalik pada saat kami datang, jalan naik siap dinikmati. Pelan-pelan tapi pasti, sampai juga kami di pintu gerbang Curug, kami sempat bertemu dengan rombongan offroader, sambil istirahat sebentar untuk menentukan jalan pulang, kita kumpul lagi di rumah Kang Elan di Citeko, karena ada tiga pilihan, jalan pertama, melalui Desa Lemah Nendeut, kedua, jalan perkebunan teh Pakancilan , jalan yang dilalui pada saat kami datang, atau ketiga, jalan melewati saung Mang Riki, menyusuri perbukitan Cicapit dan Bale Kambang, akhirnya kami mengambil pilihan jalan kedua, uihhhhh........ingin cepat sampai Rumah Kang Elan, diterangi terik panasnya matahari musim kemarau, tapi tidak mengurangi keinginan kami untuk menjelajah di minggu berikutnya...kasihan juga lihat para ladies......maaf, jangan kapok yach...
Jalan Pulang Curug Beret

Saturday, September 20, 2014

Curug Cibogo, jelajah air terjun di musim kemarau bagian pertama

Curug Cibogo di saat musim kemarau
20 September 2014, Setelah sebelumnya berkunjung ke lokasi Curug hanya seorang diri dengan mengendarai sepeda gunung, Sabtu pagi, rencana kunjungan kedua terlaksana, rombongan yang terdiri dari Pak Teo, Pak Uus, Pak Deny, Mas Jiwata, Kang Riki dan Trias, mulai menyusuri jalan raya Taman Safari menuju Curug Cibogo di Lembah Bale Kambang, Pada saat memasuki Komplek kantor desa Cibeureum, kami mengambil jalan pintas menuju Desa Tegal Batu, melewati Desa Alun-Alun, kemudian naik melewati tangga disamping Sekolah Dasar Inpres, terus hingga akhir lapangan kandang kuda, saat di desa Pasir Tugu, mempersingkat jalan melewati pemakaman umum, hingga tembus di desa Kampung Baru, dari sini baru kami jalan menuju desa Joglo, naik melewati tanjakan Ngehe, sebutan para goweser, sesampai di bedeng seng milik perkebunan teh PTPN 8 Cikopo Selatan, kami naik ke arah Pondok PPH di Bale Kambang, dari situ turun menuju Kawasan yang bernama Lamping Bilik.


Sambil mengingat jalan yang dulu pernah dilalui, tapi sekarang sudah lebih tidah terurus, dengan jalan penuh rumput, dan teriknya matahari di musim kemarau, sambil terus mengobrol, akhirnya kami sampai di lokasi Curug....ha.....ha.....memang sedang musim kemarau pada saat ini, air yang turun dari atas curug kecil sekali, dasar curug sampai terlihat, dengan tebing batu yang menjulang tinggi dan sudah terkikis air. yach.....istirahat dulu, bekal yang kami bawa, akan kami santap saja di pondok PPH, sambil memikirkan minggu depan, jalan-jalan kemana lagi nich?. Kita ke Curug Beret Aza...Jelajah Curug di musim kemarau.
Jalan pintas melalui desa Alun-alun



Istirahat di desa Kampung Baru
Desa Joglo


Sungai berasal 
dari aliran air Curug Cibogo
Curug Cibogo 

Bak penampungan air 
bersumber air Curug Cibogo

Waktunya makan siang di Bale Kambang
Pondok Kayu Bale Kambang

Saturday, September 6, 2014

Gunung Padang peninggalan kebudayaan megalitikum di kota Cianjur



Situs Megalitikum Gunung Padang Cianjur
6 September 2014, Sabtu pagi, Menunggu adalah sesuatu hal yang membosankan, dijadwalkan berkumpul jam 7.30 sampai molor jam 9.00, dengan alasan yang “ada-ada aja”, akhirnya kami para penjelajah yang terdiri dari Kang Elan, Pak Deny, Mas Jiwata, Kang N~ces, Bang Hendri, Pak Nurodin dan Trias, berangkat juga menuju Cianjur, kebetulan kami sudah janjian dengan sisa rombongan disana yaitu Kang Robi dan Kang Dily, dengan tujuan, mengunjungi situs megalitikum terbesar di Asia Tenggara, yaitu Gunung Padang.
Perjalanan menuju Gunung Padang

Tepatnya berada di perbatasan Dusun Gunung padang dan Panggulan,Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur. untuk menuju Lokasi dapat dicapai 20 kilometer dari persimpangan pasar Warung Kondang, dijalan antara Kota Kabupaten Cianjur dan Sukabumi.  Tapi kami melalui jalan lain yaitu jalan stasiun kereta api lampegan, sekitar 17 Km dari jalan raya Cianjur-Sukabumi, dari arah stasiun kami harus menempuh lagi sekitar 7 Km untuk sampai dilokasi situs, bila ada yang ingin menggunakan transportasi kereta api, inilah pilihan yang tepat, tapi ketika sesampai di stasiun, kita harus menggunakan Ojek.





Dengan mengendarai tiga buah motor matik dan satu motor koopling, perjalanan kami dimulai, dari melewati jalan raya puncak, menjemput sisa rombongan di Cipanas dan Karang tengah kabupaten Cianjur , berkelok-kelok menikmati jalan sepanjang perkebunan teh Lampegan menuju situs.


Tepat adzan Dzuhur, kami sampai di pintu gerbang situs, waktunya shalat Dzuhur dulu, untuk masalah ibadah kami tetap ingat…kho….disini kita mesti membayar Rp.2000, dengan alasan parkir, padahal dari pintu gerbang utama perjalanan masih harus dilanjutkan, padahal dah siap-siap liat situs, oke dech…naik motor lagi….
Gerbang Utama Situs Megalitikum Gunung Padang
Melewati hamparan perkebunan teh, perbukitan batu tempat situs berada sudah terlihat, menginjakkan kaki di pelataran parkiran resmi, loket masuk sudah tampak, hanya membayar Rp.2000 saja, akhirnya kami sampai juga di situs megalitikum terbesar di Asia Tenggara. Dengan disuguhi tangga batu curam….wuuuiiihhhh….perlu tenaga extra untuk sampai ke puncak, ditambah takjub, perbukitan balok-balok batu yang tersusun, Subhanallah, apakah ini buatan tangan manusia??, ini membuktikan bahwa di Gunung Padang pernah ada peradaban manusia yang sangat maju. Jangan lupa nasis untuk kenang-kenangan.
Tangga menuju Gunung Padang
Sesampai di puncak bukit, tambah bengong…, melihat tumpukan balok-balok batu berserakan dimana-mana, berbincang-bincang dengan Bapak Pemandu, diceritakan alkisah bahwa Prabu Siliwangi dan pasukannya ingin membangun istana hanya dengan waktu semalam, dengan mengerahkan pasukannya untuk mengumpulkan batu, tapi karena malam cepat berlalu, fajar muncul di cakrawala, sehingga menggagalkan usaha Prabu Siliwangi, kemudian beliau meninggalkan bukit tersebut dengan batu dibiarkan berserakan belum selesai, sehingga bukit tersebut dinamakan Gunung Padang yang berarti “Padang” atau terang. Sehingga sampai dengan saat ini, situs Gunung Padang dianggap tempat keramat oleh penduduk sekitar, terutama sering dilakukan pemujaan oleh penganut agama asli Sunda Kuno.




























Saat ngobrol dengan Pemandu, Keberadaan situs ini pertama kali muncul dalam laporan Buletin Dinas Kepurbakalaan, tahun 1914, selanjutnya dilaporkan oleh sejarawan kebangsaan Belanda NJ Krom tahun 1949. pada tahun 1979 aparat terkait dalam hal pembinaan dan penelitian benda cagar budaya yaitu penilik kebudayaan setempat disusul oleh ditlinbinjarah dan Pulit Arkenas melakukan peninjauan ke lokasi situs mengenai keberadaan tumpukan batu-batu persegi besar dengan berbagai ukuran yang tersusun sebanyak 5 teras dalam suatu tempat berundak yang mengarah ke Gunung GedeDengan Luas bangunan balok batu kurang lebih 900 m², terletak pada ketinggian 885 m dari permukaan laut, dan areal situs ini sekitar 3 hektar, sehingga menjadikannya punden berundak  terbesar di Asia Tenggara.























Menariknya hasil uji karbon pada laboratorium Miami, di Florida AS, menerangkan bahwa contoh tanah yang didapat dari pengeboran pada kedalaman 5 meter sampai dengan 12 meter berusia 14.500-25.000 tahun, jadi lebih tua dari usia piramida Giza, Mesir. Dari penelitian tersebut Situs ini, bisa katakan Indonesia, tepatnya daerah Jawa Barat, bisa menjadi bukti peradaban tertua manusia  di dunia.

















Di area lokasi batu berserakan terdapat beberapa peninggalan seperti di teras pertama ada Batu Gamelan atau Batu Musik yang bila kita pukul akan mengeluarkan nada mirip suara gamelan, kemudian Gunung Masigit, terdapat kumpulan batu yang membentuk sebuah bukit, dengan posisi batu yang saling tumpang tindih tidak beraturan,
Gunung Masigit
Batu Gamelan













di teras kedua terdapat Batu Tapak Maung, terlihat jelas telapak maung atau bekas jejak harimau pada permukaan batu, di teras ketiga ada Batu Tapak Kujang, terlihat seperti bentuk Kujang di permukaan batu,


Batu Tapak Maung
Batu Tapak Kujang























Di teras ke Empat terdapat lokasi Batu Gendong, konon sebagai simbol kekuatan karena di lokasi ini terdapat sebuah batu yang bila diangkat doanya akan terkabul,
Lokasi Batu Gendong
Dan diteras ke lima, ada Batu Singgasana, tempat duduknya Raja atau ketua pada saat pertemuan, posisi nya terletak pada teras paling atas. itulah sebagian dari beberapa peninggalan yang ada di Gunung Padang
Batu Singgasana
Puas melihat tumpukan batu disana-sini, dan dikhawatirkan hujan turun, karena suasana situs sudah mulaimendung, ditambah perut sudah tidak bisa kompromi, setelah waktu Ashar kami turun gunung. mudah-mudahan kita tetap melestarikan dan menjaga segala macam peninggalan leluhur kita, untuk menjadi pengingat dari mana asal mula kita.
Pelataran Gunung Padang
Jalan Keluar Situs