Saturday, November 8, 2014

Rawa Gede jelajah 9 jam


8 November 2014, Sudah terbiasa melihat begitu macetnya jalan raya Puncak Sabtu pagi, , dengan titik kumpul di Rumah Pak Teo, sambil menunggu rombongan yang belum kelihatan batang hidungnya tapi yang terlihat baru Mas Jiwata, Kang Yayan, Kang Athe, Trias, dan mengintip sedikit dari arah pintu ruang tamu, Pak Theo sedang sibuk mempersiapkan perbekalan yang akan dibawanya, kemudian muncul Pak Uus, sambil menanyakan perihal bekal makanan untuk santap siang nanti dan, “seperti biasa Pak, kita ke warung nasi Mang Ahdi”, dua plastik hitam berisi nasi beserta keluarganya untuk santap siang telah dijingjing menuju rumah Pak Teo, sambil membagi kepada siapa saja bekal santap siang akan ikut, kemudian muncul rombongan lain mulai dari Pak Deni, Pak Endang dan Kang Elan, “Kita lewat mana sekarang”?.

Sesuai rencana awal, meskipun dadakan, hanya informasi lewat memposting pesan di BBM Grup dan SMS, “Kita akan berangkat menuju Rawa Gede”, tepat jam 8 pagi, pada saat akan melangkah, tiba-tiba bunyi sirene satu arah dibunyikan Polisi, alhasil lalulintas menuju arah Jakarta, dengan berjalan kaki dahulu menuju pertigaan Taman Safari, berharap kembali dibuka jalur menuju arah Puncak, benar saja, tak lama kemudian satu jalur ke arah Puncak dimulai, tapi mana tumpangannya, susah sekali menyetop mobil bak terbuka, melihat matahari sudah mulai naik, Pak Uus menyarankan menggunakan Angkot, saja, setelah melakukan negosiasi akhirnya Sang Angkot mau mengantarkan kami menuju Puncak.
Mesjid At-ta'awun dari atas bukit
“Kiri Mang!” kami berhenti tepat didepan Masjid At Ta’awun Puncak, dari sini kami berjalan kaki, memasuki kawasan perkebunan teh Tjiliwung, tepatnya sebuah bukit, terlihat jelas dari arah jalan raya billboard Partai Gerindra berdiri kokoh, kita sebut saja bukit Gerindra, sambil berjalan menanjak melewati jalan setapak, lumayan untuk pemanasan, setelah sampai di jalan buntu perkebunan, “coba mencari jalan”, kami masuk jalan setapak ke dalam hutan di lereng Bukit Gerindra, jalan hutan di lereng tersebut cukup sulit, karena di sebelah kiri jalan terdapat jurang dengan rerimbunan semak belukar, berkali-kali Kang Elan hampir jatuh, kemudian disusul Pak Teo, “Awas hati-hati Pak”, cemas juga karena takut nyasar, apalagi baru mulai perjalanan sudah tersesat. Haduuuh....!!!




Setelah berjalan, tidak beberapa lama, kami keluar di sebuah Jalan tanah agak lebar, masih tetap bingung, ini ada dimana, tapi setelah melihat pembatas “line” plastik yang terpasang di sisi kiri jalan, sambil memperhatikan “line” oh...jalur ini pernah dipakai untuk event enduro waktu itu, melihat kondisi jalan yang sudah lama tidak terpakai, rasa khawatir hilang karena takut juga sebab sedang enak-enak jalan, diserempet sepeda yang lewat, “kan ngga lucu” tidak beberapa lama, kami menemukan Jalan bercabang satu lurus ke kiri dan yang satunya lagi menanjak ke kanan, Pak Teo menyarakan kami mengikuti jalan ke arah kanan, sedikit kontur menanjak, ternyata kami keluar juga di area perkebunan  teh, dibawah terlihat jalur masuk trek TW 5, dengan serombongan pengendara sepeda gunung yang sedang melintasinya, setelah menuruni jalan setapak, sambil istirahat sejenak di pinggir jalan batu perkebunan, menikmati kopi cap Teko suguhan Pak Teo dan tak lupa narsis “kira-kira ini dimana yach, oh....” sepertinya ini jalan sepeda gunung menuju trek TW 3.
Kampung Cibulao dari jauh




Memandang ke arah hamparan perkebunan teh Tjiliwung, sambil menujuk arah-arah yang akan dilewati, karena dari sini perkampungan di sekirar perkebunan sangat jelas terlihat, karena takut salah jalan, berharap...tiba-tiba muncul seorang bapak tua yang baru pulang mencari kayu bakar, dengan menyuguhkan rokok dan segelas kopi, untuk membujuk beliau berbicara, ternyata bapak tua tersebut berasal dari kampung Cibulao, berarti desa pertama menuju Rawa Gede, sebagai petunjuk arah, agar tidak memutar terlalu jauh,  karena rencana kami akan melewati jalan samping telaga Sa’at, beliau menyarankan menuruni bukit tempat kami istirahat, jadi kami akan lewat melalui belakang desa Cibulao, sampai di kampung Cibulao, tidak lupa bertanya kepada penduduk desa yang lewat, kami naik melalui satu-satunya jalan perkebunan untuk keluar dari desa ini, setelah melewati tanjakan pertama, kami belok kiri menyusuri jalur trek sepeda, lurus, kemudian naik ke sebuah bukit, dari kejauhan terlihat sesosok yang kami kenal, karena kostum sepeda yang dikenakannya, siapakah gerangan?, sambl terus berjalan, sosk tersebut mulai terlihat jelas, ternyata Pak Nurodin dan Bang Hendri dari komunitas sepeda gunung Sanatorium MTB,  he..he...ketemu juga disini, maklum satu tempat kerja, tapi disana tidak hanya ada mereka, salah satu Marshal Puncak pun turut hadir, yaitu Om Mumuh TW, ngobrol ngalor ngidul sambil istirahat sejenak, karena memburu waktu. Akhirnya kami pamitan kepada mereka untuk melanjutkan perjalanan.
Ketemu komunitas sepeda gunung SANATORIUM MTB

Kampung Cikoneng dari jauh
Menuruni bukit, kami melewati sebuah selokan kecil berair jernih, setelah menaiki jalan setapak menanjak, akhirnya kami sampai juga di Bedeng Seng perkebunan, sebagai tanda kampung Cikoneng akan kami datangi sebentar lagi, sampai kampung Cikoneng kami singgah sebentar di sebuah warung milik warga setempat, sambil menikmati makanan ringan dan air teh tubruk asli olahan dari teh perkebunan, dari Sekolah Dasar Negeri Cikoneng kami belok ke sebelah kanan, untuki melanjutkan perjalanan menuju kampung Rawa Gede.




Disepanjang perjalanan, karena sebagian dari kami adalah para pencinta batu akik, seperti Kang Athe, Pak Deni, Kang Elan, Pak Endang, Pak Uus dan Pak Teo, mata mereka sangat peka dan awas, memandangi batu yang ada di jalan perkebunan, tiba-tiba Kang Athe teriak “Batu Sepah yeuh...”. ternyata batu tersebut lumayan agak besar, menempel di tanah jalan batu perkebunan, alhasil dengan sebuah golok milik Kang Athe, dibantu para rekan pencinta batu, mereka berhasil memindahkan sebuah bongkahan batu ke dalam tas milik kang Athe, perjalanan dari kampung Cikoneng menuju kampung Rawa Gede cukup jauh, ditemani suasana hamparan hijau perkebunan teh, membuat pikiran kami tenang dan lupa untuk semua beban di pekerjaan maupun di rumah, apalagi melihat senangnya melihat para pecinta batu akik menemukan sebuah penemuan spektakuler.

Jalan Desa Cikoneng



Kampung Rawa Gede
Sebuah kampung yang termasuk kampung Rawa Gede telah kami lewati tapi hanya terdiri beberapa rumah tinggal, karena desa terbesarnya masih cukup jauh, sambil terus semangat berjalan, Hamdalah, akhirnya kami sampai juga di kampung Rawa Gede, kampung Rawa Gede adalah sebuah kampung yang termasuk Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, merupakan kampung paling ujung perkebunan teh Tjiliwung, setelah kami melewati masjid, kami belok kiri turun menuju jembatan, sebenarnya ada yang membuat kami penasaran di kampung Rawa Gede ini, yaitu Curug Sawernya, entahlah mengapa diberi nama Curug Sawer, setelah meminta petunjuk dari penduduk setempat, akhirnya kami diberi tahu jalan menuju Curug tersebut.

Curug Sawer Rawa Gede







Berjalan ke belakang perumahan penduduk kampung, menuju pintu keluar lewat belakang kampung Rawa Gede, terlihat jalur terk sepeda TW 2 dari jauh, inilah jalur yang akan kami lewati untuk pulang nanti, berbekal petunjuk salah seorang warga, bahwa lokasi curug ada di belakang kampung Rawa Gede dan berada di lereng sungai yang melintasi desa, sampai di pertigaan sebelum melewati selokan air, kami belok kiri, kami menuruni jalan setapak, menuju perkebunan warga, tapi mana jalan ke arah curugnya??. “Waduh....” sempat mondar-mandir melewati mencari jalan masuk, tapi tidak ketemu, meskipun sudah bertanya kembali ke seorang penduduk desa yang baru pulang mencari kayu bakar, “aduh...mana jalannya”. Akhirnya kami menyeberangi sungai, setelah bertanya kembali untuk kesekian kali, kebetulan kami bertemu seorang penduduk yang sedang mencari rumput, kami disarankan mengikuti jalan setapak yang sudah agak tertutup semak untuk menuju lokasi curug, karena rasa penasaran tinggi, kami masuki juga jalan setapak curam dengan semak cukup lebat, sambil susah payah, karena jalan sudah hampir tertutup semak dan sanagt curam, juga mungkin sudah jarang orang bahkan penduduk sekitar mengunjungi curug tersebut, dengan menyeberangi sungai kembali, kami sampai  dengan jarak sekitar lima meter dari Curug, oh...mengapa di sebut curug Sawer ternyata air yang turun dari atas curug seperti  menyiprat-nyiprat sehingga  terlihat seperti saweran, tapi minta ampun lebatnya semak, ditambah lagi yang namanya lintah hadir kembali ditengah-tengah kami, rombongan kami yang paranoid akan lintah mulai takut, akhinya kami memutuskan naik kembali  keatas, meskipun biasanya kami narsis dahulu di tempat-tempat yag belum kami kunjungi, tapi di curug Sawer kami lupa akan hal itu.

Suasana kampung Rawa Gede


Dengan susah payah kami sampai juga di lereng bukit, diatas curug, tempat kami bertemu penduduk yang sedang mengambil rumput, perut sudah keroncongan nich, sambil melihat jam di tangan. Ampun sudah menujuk angka setengah dua, makan dulu setelah itu baru kita shalat Zuhur, setelah membereskan sisa makanan, teryata ada jalan setapak tepat di belakang kampung, sebelum kami melewati jembatan, setelah kami telusuri, “itu kan mesjid, tau gitu lurus aja, jangan turun lewatin jembatan, aduhhhh....”. setelah selesai shalat, sebagian dari kami tidur sejenak untuk mempersiapkan tenaga  untuk pulang melewati jalur Trek TW2.


Persiapan menuju  hutan pinus  Curug Kembar TW 2
TW 2 kami datang, TW 2 sebuah nama trek sepeda dari sekian banyak trek sepeda kawasan Puncak yang sudah tidak asing lagi dimata para penyuka sepeda gunung. Tapi menurut informasi penduduk saat ini sudah jarang dilalui sepeda. Dengan sedikit was-was, kami memasuki jalur tersebut, TW 2 melewati  kawasan Hutan Pinus yang membentang dari arah Curug Kembar hingga perbatasan Kampung Rawa Gede, karena pintu pulang kami adalah menuju Curug Kembar, Kampung Ciburial, “aduh takut keburu hujan”, dengan jalan berbaris melewati turunan jalur TW 2 ditemani rimbunnya hutan pinus, ternyata jalur ini sudah sangat tidak terurus, jalan ditumbuhi semak dari tumbuhan paku dan banyak dahan pohon pinus yang tumbang menutupi jalan. Saat memasuki jalan yang di tumbuhi tanaman honje, salah satu rombongan kami, Mas Jiwata menderita kram kaki, karena kami berjalan terlalu tergesa-gesa melewati hutan pinus, karena paranoid dengan suasananya sudah sangat gelap dan terdengar suara halilintar tanda hujan akan segera turun, untuk kaki Mas Jiwata, untung saja Pak Teo membawa balsem yang mujarab menyembuhkan secara terpaksa kaki Mas Jiwata, maklum kerana takut kehujanana, kalo turun hujan udah di tengah hutan, gelap, pasti yang nama lintah pasti datang menemani kita. Pliss....dech.
Jalan setapak menuju jalur TW 2


Hamdalah di tengah hutan kami mendengar suara adzan wajtu Ashar berkumandang, tanda kawasan Curug Kembar tidak jauh lagi, akhirnya pada saat kami menuruni turunan terakhir hutan pinus, pas di sebuah gubuk penyadap getah pinus, hujan lebat turun, Hamdalah.....kami sampai tepat waktu di Kawasan Curug Kembar, sambi menunggu hujan reda di gubuk. Tepat jam 4 kurang seperempat, kami memutuskan melanjutkan perjalanan pulang meskipun hujan belum reda, sambil berlarian kami juga di di kampung Babakan, untuk segera pulang menyusuri jalan raya Puncak yang kebetulan sudah satu arah menuju Jakarta pada saat kami pulang, tepat jam lima sore kami sampai di depan tempat kami tadi pagi berkumpul, tepat 9 Jam kami menjelajah mulai dari kampung Cibulao, Cikoneng, Rawa Gede, kemudian berakhir di Curug Kembar Batulayang, semoga nanti malam tidak tidak sakit badan.














Istirahat

No comments:

Post a Comment